Terastoday.com
Budi Nurhamidin (Dosen IAI Muhammadiyah Kota Kotamobagu)

Matinya Demokrasi Ditubuh DPR

Terastoday.com- Beberapa hari ini saya membaca informasi di media online yang tersebar di grub-grub whatsapp terkait usulan nama-nama calon pejabat Bupati khususnya di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow.

Awalnya, ketika membaca pemberitaan tersebut, saya merasa biasa saja. Pandangan saya menjadi tidak biasa ketika mendapati informasi terkait adanya silang pendapat antara ketua DPRD dan fraksi-fraksi di yang ada di dalam DPRD itu sendiri.

Sebagai warga masyarakat dan merupakan putra daerah, saya terpanggil untuk memberikan komentar dengan apa yang telah terjadi dikalangan elit pejabat Bolaang Mongondow, apalagi yang akan mereka (DPRD) usulkan berkaitan dengan jabatan publik yang akan menahkodai serta memberikan arah gerak bagi kemajuan Kabupaten Bolaang Mongondow selama satu tahun kedepan.

Baca Juga: HMI TRANSFORMATIF: Mengokohkan Gagasan di Tengah Kemoderenan 

Saya secara pribadi tidak mempermasahkan siapapun yang akan menjadi penjabat Bupati kedepan, hanya saja yang ingin saya kritisi melalui tulisan ini adalah mekanisme yang diterapkan oleh DPRD.

Sebelumnya juga, saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini tidak bermaksut memberikan dukungan kepada salah satu pihak, melainakan sebagai unek-unek dan kritik bagi para pejabat agar tidak memberikan pendidikan politik yang buruk kepada masyarakat. Tetapi, apabila muncul stigma berkenaan dengan problem tersebut, kemudian tulisan ini diindikasikan cenderung menguntungkan salah satu pihak, ya, silahkan.

Langakah Awal Kematian Demokrasi

Memahami kasus yang terjadi di wilayah Kabupaten Bolaang Mongonodow, saya teringat dengan buku yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dengan judul “Bagaimana Demokrasi Mati”. Dalam tulisan tersebut, kedua Profesor asal Harvard tersebut mengungkapkan bahwasanya, demokrasi bisa mati dikarenakan adanya kudeta secara perlahan-lahan, terpilihnya pemimpin yang otoriter, penindasan secara total, dan adanya penyalahgunaan kekuasaan pemerintah.

Baca JugaKotamobagu Menyambut Tahun Politik 2024

Penjelasan diatas memberikan gambaran kepada kita bahwasanya demokrasi yang kita anut hari ini bisa saja akan mengalami kematian, dalam artian, demokrasi hanya akan dimaknai sebagai proses pemilihan umum, tetapi tidak sampai pada substansi demokrasi dalam hal aspirasi dan pengambilan kebijakan. Perihal tersebut dibuktikan dengan adanya monopoli mekanisme dalam mengambil keputusan di DPR.

Penyalahgunaan kekuasaan inilah yang saat ini terjadi. Kenapa demikian ? Karena, pemberitaan yang tersebar memperlihatkan keputusan dalam hal pengusulan nama-nama calon penjabat Bupati hanya diusulkan oleh ketua DPRD tanpa melaksanakan mekanisme pengambilan keputusan yang berlaku di DPR.

Secara pribadi saya tidak mengetahui secara persis, hanya saja menurut analisis saya, ketua DPRD ketika membaca surat dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 100.2.1.3/1773/SJ tertanggal 27 maret 2023 bersifat leterlek atau secara harfiah pemahaman yang dikedepankan terjebak pada apa yang ditulis tanpa dimaknai dan dipahami secara mendalam.

Padahal redaksi kalimat pada poin dua jelas disebutkan, DPRD melalui Ketua DPRD mengusulkan tiga nama calon penjabat Bupati. Artinya, mekanisme dalam pengambilan keputusan terlebih dahulu harus berdasarkan musyawarah mufakat antara seluruh anggota DPRD, yang kemudian diusulkan melalui ketua DPRD.

Baca Juga: Paguyuban se-BMR di Gorontalo Bisa Apa?

Jangan heran ketika terjadi oposisi dari fraksi-fraksi yang merasa hak mereka dizolimi. Secara kelembagaan maupun secara psikologis, anggota DPRD dari fraksi-fraski tersebut merasa tidak dihargai sebagai pihak yang berkepentingan serta memiliki wewenang dalam pengusulan calon penjabat Bupati.

Sebagai informasi, melalui surat nomor 005/DPRD/02/128/IV/2023 ada empat fraksi dari enam fraksi DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow yang mengusulkan nama-nama lain calon pejabat Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow.

Kolektif Kolegial Sebagai Dasar Demokrasi

Sejak awal, sistem demokrasi selalu menggaungkan tentang konsep musyawarah mufakat. Dalam hal kepemimpinan, kita mengenal adanya konsep klektif-kolegial. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, konsep tersebut merujuk pada sistem kepemimpinan yang melibatkan peran dari seluruh pihak terkait atau berkepentingan dalam mengeluarkan keputusan melalui mekanisme yang ditempuh berdasarkan musyawarah mufakat dengean selalu mengedepankan semangat bersama.

Mekanisme yang ditempuh di lembaga DPR sendiri tentunya harus megacu pada konsep tersebut, karena para elit DPRD lahir dari rahim demokrasi yang merupakan representasi dari seluruh masyarakat diwilayah yang diwakili. Apabila lembaga sekelas DPRD saja sudah tidak mengindahkan mekanisme berdasarkan musyawarah mufakat tentunya dihawatikan akan lahir sistem kepemimpinan absolut yang merupakan cikal bakal dari sistem otoritarianisme.

Dialektika dalam pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang sah ditubuh DPR asalkan lembaga tersebut menjalankan proses pengambilan keputusan berdasarkan mekanisme yang berlaku. Jika proses yang diambil sejak awal sudah melanggar mekanisme demokrasi dan kepemimpinan, sudah dapat dipastikan kompetisi yang terjadi ditubuh DPR sudah tidak sehat bagi demokrasi kita.

Sekian..

Penulis: Budi Nurhamidin (Dosen IAI Muhammadiyah Kota Kotamobagu)

Check Also

Dukung Penuh Iskandar – Deddy, Yulius Selvanus: yang Lain Sorry Yee!

Terastoday.com, POLITIK– Calon Gubernur Sulawesi Utara (Sulu), Yulius Selvanus Komaling (YSK) secara tegas mendukung Paslon …