Terastoday.com-Sebagai suatu negara, pasca tumbangnya rezim pemerintahan orde baru pada tahun 1998, Indonesia yang awalnya menjalankan sistem pemerintah yang cenderung otoriter dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto berubah menjadi negara yang menjalankan sistem demokrasi. Demokrasi sendiri dapat dimaknai sebagaimana ungkapan Abraham Lincoln yang menyebutkan, bahwasanya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam sistem demokrasi, supremasi hukum menjadi legitimasi utama dalam menjalankan proses tatanan roda pemerintahan serta mengatur pola hidup masyarakat. Maka demokrasi menjadi sarana penting bagi masyarakat untuk menaruh harapan bagi kedaulatan rakyat melalui pemimpin yang dihasilkan dari proses pemilu (pemilihan umum).
Pemilu yang diselenggarakn lima tahun sekali merupakan wadah bagi masyarakat untuk mencapai kedulatan rakyat yang mensyaratkan suatu kondisi yang bebas dan adil. Secara normatif aturan yang mengatur tentang pemilu berangkat dari konstitusi negara yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang tertuang dalam pasal 22 E bahwa, Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Baca Juga: Respon JPPR Bolmong Terkait Penertiban APK oleh Bawaslu
Penerapan sistem demokrasi melalui pemilu mensyaratkan keadilan sebagai prasyarat utama dalam pelaksanaannya. Kata “adil” dalam konstitusi haruslah menjiwai sistem pemilu yang terdiri dari proses penyelenggaraan pemilu dan hukum pemilu. Proses pelaksanaan harus mengacu pada hukum yang berlaku serta memperhatikan kehendak peserta pemilu dalam tahapan pelaksanaannya agar tidak ada yang merasa dirugikan terlebih dengan cara-cara yang tidak fair.
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan proses pelaksanaan pemilu yang terindikasi mengabaikan hukum pemilu sebagai acuan normatif dalam pelaksanaannya. Pelanggaran pemilu yang dilakuakan oleh peserta pemilu nampaknya tidak mendapat sikap tegas dari penyelenggara pemilu. Tindakan semacam itu merupakan sikap amoral dalam proses pelaksanaan pemilu.
Menarik dibaca: Lexsy Mamonto Pernah Gaungkan Misi Perdamaian Konflik Timur Tengah Dihadapan Pemimpin PBB
Ketidakadilan Hukum Pemilu
Setiap menjelang pesta demokrasi, pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu bukan menjadi sesuatu yang tabu di negara kita. Pelanggaran yang dilakukan sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Dibentuknya lembaga penyelenggrara baik KPU maupun Bawaslu diharapkan dapat menjalankan pemilu dengan adil serta diharapakan dapat meminimalisir tindakan-tindakan curang dari peserta pemilu agar keadilan yang kita harapakan bersama dapat terwujut. Setiap pelanggaran yang terjadi pada proses tahapan pemilu, diperlukan sikap tegas dari penyelenggara pemilu dengan tidak tembang pilih dalam proses penerapan aturan yang berlaku.
Baca Juga: Bawaslu Bolmong Bakal “Sapu Bersih” APK Milik Parpol dan Bacaleg
Membicarakn tentang keadilan, kita tidak bisa terlepas dari pendapat seorang filsuf besar dari Amerika bernama John B. Rawls yang menulis buku berjudul A Theory of Justice (Teori Keadilan) . Dalam buku tersebut, Rawl menjelaskan bahwa keadilan adalah fairness, yaitu kondisi yang dibangun atas dasar pandangan setiap masyarakat yang memiliki kebebasan, status quo awal yang menegaskan kesepakatan fundamental dalam kontrak sosial adalah fair. Gagasan utama dalam keadilan adalah lembaga masyarakat yang mengatur hak dan kewajiban dasar serta menentukan pembagian kesejahtraan kerjasama sosial yang dibangun.
Berangkat dari tujuan utama polis, keadilan merupakan pokok persoalan sesungguhnya dan pelaksanaannya sebagai tujuan utama. Demi terwujutnya keinginan tersebut, perlu ada ketegasan berkenaan dengan keadilan hukum yang telah dirumuskan dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana setiap pelanggaran terhadap keadilan akan ditegakkan melalui proses hukum (pengadilan).
Melihat fenomena proses tahapan pemilu saat ini tentunya jauh dari kata adil. Mengapa ? karena proses keadilan yang harusnya menjadi fondasi awal dalam proses pelaksanaan pemilu tercoreng dengan adanya perilaku koruptif dari peserta pemilu yang kemudian tidak mendapatkan ketegasan berupa sangsi oleh penyelenggara pemilu. Sebagai contoh, keadilan hukum yang tidak mampu diterapkan adalah penertiban alat praga kampanye (APK) oleh penyelenggara pemilu. Memang benar penyelenggara pemilu telah memberikan himbauan yang bersumber dari aturan pelaksanaan pemilu yakni PKPU 15 tahun 2023 tentang pemilu, tetapi yang perlu dipertegas dalam hal ini adalah implemetasi dari proses penerapan aturan tersebut.
Keadilan pemilu yang diharapkan baik oleh peserta pemilu dan masyarkaat secara umum tentunya berangkat dari kepastian hukum yang menjadi pondasi dalam proses pelaksanaannya, bahwa keadilan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu dapat memastikan tindakan, prosedur, dan keputusan yang terkait dengan proses pemilu sejalan dengan hukum, serta melindungi atau memulihkan pelaksanaan hak elektoralnya. Keadilan yang diselenggrakan diharapakan dapat dipastikan bahwa segala tindakan, prosedur, dan keputusan terkait proses pelaksanaan pemilu adalah taat kepada hukum agar tidak ada peserta pemilu yang merasa terdiskriminasi terlebih merasa dirugikan dengan sikap penyelenggara pemilu yang tidak fair dalam proses penerapan aturan yang berlaku.
Sumber Pustaka :
John B. Rawls, Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujutkan Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2016)
Meidy Yafeth Tinangon, Konsep Electoral Justice dalam Konteks Legal Framework Pemilihan 2020, (Manado : KPU Sulawesi Utara, 2021), Cet. I
Mineshia Lesawengen, Menggugat Electoral Justice dari Perspektif Filsafat Keadilan Rawls dan Etika Lingkungan, (Manado : KPU Sulawesi Utara, 2021), Cet. I
Penulis: Budi Nurhamidin
(Koordinator JPPR Kabupaten Bolaang Mongondow sekaligus Dosen IAI Muhammadiyah Kotamobagu)